PROBLEMATIKA HUKUM PANGAN BAGI USAHA KECIL RUMAHAN
PRODUKSI PANGAN OLAHAN KEMASAN TIDAK BERLEBEL


Oleh: Atok Rahmad Windarto



I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Demi kedaulatan Pangan dan ketahanan Pangan di Indonesia, negara telah mengatur melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan (selanjutnya disebut UU Pangan).

Bertalian dengan ketahan Pangan dan kedaulatan Pangan yang mandiri, tentu tidak lepes dari Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud dalam Undang undang 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Selanjutnya disebut UU UMKM) perlu diselenggarakan secara menyeluruh, optimal, dan berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang kondusif, pemberian kesempatan berusaha, dukungan, perlindungan, dan pengembangan usaha seluas-luasnya, sehingga mampu meningkatkan kedudukan, peran, dan potensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan tentunya adalah pengentasan kemiskinan;

Membahas tentang Hukum Pangan serta tentang peredaran atau distribusi perdangan Pangan, kemudian dikaitkan dengan Hukum UMKM, dalam pergulatanya menimbukan berbagai permasalah yaitu, latar belangkan masalah ekonomi kemudian menjadi permasalahan social unjungnya adalah permasalahn hukum. contoh kasus pada pelaku usaha rumahan yang mempruduksi Pangan dalam jenis Pangan Olahan. Pangan Olahan itu biasanya berbentuk sosis, cireng, pentol bakso, roti dan lain lain sejenisnya. Kasus terjadi pada pelaku usaha rumahan di hampir diseluruh wilayah jawa timur. Kapasitas produksi Pelaku usaha ini sekitar 10 Kg perhari, dalam arti 10 Kg (sosis jadi siap jual), dikemas mengunakan plasti bening, kemudian dijual ke toko-toko kelontong atau pasar teradisional. Tak lama kemudian pelaku usaha sosis tersebut ditangkap polisi atau pejabat yang berwenang atau pejabat keamanan Pangan. Dengan sangkaan telah melangar UU Pangan karena pelaku usaha telah memproduksi dan atau mengedarkan Pangan Olahan tanpa ijin dari pejabat terkait. Hal ini sering terjadi pada pelaku usaha pemula, dari setrata ekonomi kelas bawah yang nota bane nya korban PHK kemudian mencoba membuat usaha berdasarkan pengalamanya yang didapat saat berkerja di pabrik.

Menurut pepatah local mengatakan bahwa ikan teri bergaul dengan ikan teri, ikan kakap bergaul dengan ikan kakap. Begitu pula pada kehidupan manusia, usaha kecil biasanya berperkejasama dengan pedagang kecil. Pedagan atau pengecer kecil pun bernasip sama dengan pelaku usaha rumahan. Dia ditangkap dengan sangkaan mengedarkan makanan olahan tidak mempunyai ijin.

Bahwa permasalahan pertama pada pelaku usaha rumahan pemula adalah factor modal. Modal tersebut untuk memenuhi tingginya Stadar ijin yang dikeluarkan BPOM untuk makanan kemasan dan lebel, bukan untuk modal bahan baku produksi. Masalah berikutnya adalah rumitnya birokrasi dalam pengurusan ijin soal makanan olahan. Memang benar terdapat kemudahan terhadap pangan olehan tertentu oleh BPOM, pada umumnya disebut ijin PIRT. Namun pangan olahan yang dimaksud PIRT dalam peraturan perundang-undangan sangatlah sempit dan tidak memenuhi kebutuhan bagi pelaku usaha pemula. Karena, PIRT hanya berlaku hanya pada produk tertuntu.

Betolak pada permasalahan tersebut minimbulkan pertanyaan apakah keberadaan UU Pangan sudah keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukankah, Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya local[1]. Sebagaimana dinyatakan dalam konsideren bahwa kewajiban negara menjamin Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Bahwa pelaku usaha rumahan tersebut sebagai bentuk implementasai dari kemendirian ekonomi dan kemandirian pangan dari rakyat Indonesia. Bahwa pelaku usaha adalah sumberdaya manusia dalam ketahanan ekonomi negara oleh karena itu pelaku usaha kecil wajib di lindungi dan di bina untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Bahwa terdapat ketentuan sanksi pidana pada UU Pangan, ketentuan pidana tersebut berpotensi sasarannya hanya terhadap pelaku usaha pangan yang tidak mempunyai modal, kemudian terbentur masalah perijinan. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap pelaku usaha yang miskin atau tidak mempunyai modal yang cukup.

Bahwa mengkriminalisasi usaha kecil pemula adalah bentuk diskriminasi, sebab tidak adil apabila pelaku usaha kecil pemula yang melakukan kegiatan usahanya harus dijatuhi hukuman pidana, sementara tidakanya tersebut tidak diatur secara jelas, rinci, pasti dan cermat dalam undang-undang. Hal ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap semua Pelaku usah kecil pemula khususnya usaha Pangan olahan di Indonesia. Kriminalisasi dan diskriminasi melanggar nilai nilai keadilan yang dijamin konstitusi pasal 28 B Undang-undang Dasar 1945. Kemudian oleh karena itu maka penulis ingin mengurai tentang”PROBLEMATIKA HUKUM PANGAN BAGI USAHA KECIL RUMAHAN PRODUKSI PANGAN OLAHAN KEMASAN TIDAK BERLEBEL”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, agar dalam pembahasan lebih focus maka pembahasan akan dibatasi pada rumusan masalah terkait bagaiman perlindungan hukum terhadap pelaku usaha industry kecil pangan olahan kemasan tidak berlebel.

C. Metode Penulisan

Tipe penelitian ini termasuk dari ragam penelitian Hukum Normatif dengan pola kajian Yuridis-Normatif. Istilah penelitian hukum normative berasal darikata Bahasa Inggris, yaitu normatife legal research, dalam Bahasa belanda disebut dengan istilah normatieve jurudisch onderzoek, sedangkan dalam Bahasa Jerman disebut dengan normative juristische recherche.[2] Pemilihan Tipe didasarkan dari beberapa asumsi penulis, yakni: pokok kajian ini berdasarkan Peraturan Perundang-undangan terkait yang menjadi dasar hukum UU 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.

D. Tujuan Penulisan

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menganalisis peranan negara dalam meningkatkan sumberdaya manusia, dalam hal melindungi pelaku Usaha kecil pemula di Indonesia, yang bertujuan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat dengan penguatan pada hukum Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam system hukum di Indonesia.



II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Pangan dan Hukum Pangan Indonesia

1. Pengertian Hukum secara Umum

Sebelum menemukan difinisi hukum pangan, alangkah baiknya mengetahui pengertian pengartian hukum secara umum melalui teori hukum. Hukum Menurut Plato: “Hukum sebagai sarana keadilan”, Plato Merumuskan tentang hukum: hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia fenomena yang penuh situasi ketidakadilan. Aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam suatu kitab, supaya tidak muncul kekacauan hukum. setiap UU harus didahului preambule tentang motif dan tujuan UU Tersebut. Manfaatnya adalah agar rakyat dapat mengetahui dan memahami manfakat kegunaan mentaati hukum itu, dan insyaf tidak baik mentaati hukum hanya karena takut dihukum.[3]

Hukum menurut Immanuel Kant “ hukum itu produk akal praktis” Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, Kant dikenal dengan Imperatif Kategoris-nya. Ada dua norma yang mendasarkan prinsip ini: tiap manusia diperlakukan sesuai dengan martabatnya. Ia harus memperlakukan dalam segala hal sebagai subyek, bukan obyek. Orang harus berdalil bahwa apa yang menjadi dasar tindakannya memang merupakan prinsip semesta. sedangkan Immanuel Kant jugaa mewartakan bahwa fungsi hukum untuk mengembangkan suatu kehidupan Bersama yang bermoral.[4]

Namun makna hukum dapat mengalimi perubahan corak warna kismologi dari generasi ke generasi, juga mengalami pergeseran cara pandang sesuai dengan peralaihan zaman. Maka, disamaping bertemu dengan pemikir jaman klasik, pemikir abat pertengahan, pemikir zaman moderent, dan pemikir kontemporer, serentak dengan itu pula berjumpa dengan generasi hukum alam, generasi rasionalisme, generasi historisme, generasi positifisme, generasi sosio-antropologi, generasi realisme, dan generasi lain sesudahnya. Disamping teori-teori yang lahir dalam tradisi barat, terdapat pula pemikiran hukum yang bernilai tinggi dalam kebudayaan-kebudayaan lain di dunia, misalnya, di cina, india, mesir, jepang, afrika dan timur tengah. Tapi karena pemikiran yang paling subur di Indonesia adalah teori hukum barat maka, dalam hal pembahasan ini hukum dalam perspektif teori hukum barat dipadukan dengan hukum berdasarkan Pancasila.

Berdasarkan pengertian-pengertian hukum yang terurai diatas, untuk membatasi makna hukum dalam perspektif hukum pangan Indonesia maka penulis mendifinisakan hukum adalah suatu perangkat aturan yang hidup dimasyarakat, berisi norma dan kaidah, kaidah tersebut memuat aturan larangan dan perintah, baik tertulis maupun hukum tidak tertulis. Namun dalam pembahasan makalah ini tidak mengkaji tentang hukum tidak tertulis melainkan mengkaji hukum positif tentang Pangan yang berlaku di Indonesia.



2. Pangan di Indonesia.

2.1 Pengertian Pangan

Sebelum mambahas pada pokok permasalahan, ada baiknya lebih dahulu mengatahui pengertian pangan secara umum. Pengertian Pangan Saparinto & Hidayati adalah kebutuhan pokok manusia yang diperlukan setiap saat dan memerlukan pengolahan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh. Produk makanan atau pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati atau air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan untuk makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Berdasarkan cara memperolehnya, pangan dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu;

a) Pangan segar

Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan. Pangan segar dapat dikonsumsi langsung ataupun tidak langsung, yakni dijadikan bahan baku pangan.

b) Pangan olahan

Pangan olahan adalah makanan hasil proses pengolahan dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Bahan olahan dibagi atas dua macam, yaitu :

i. Pangan olahan siap saji adalah makanan yang sudah diolah dan siap dijadikan ditempat usaha atas dasar pesanan.

ii. Pangan olahan kemasan adalah makanan yang sudah mengalami proses pengolahan akan tetapi masih memerlukan tahapan pengolahan lanjutan untuk dapat dimakan

c) Pangan olahan tertentu

Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan untuk kelompok tertentu dalam upaya untuk memelihara atau meningkatkan kualitas Kesehatan.



2.2 Pangan dan Jenis Jenisnya Menurut Hukum Pangan

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pcrtanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.[5]

Berdasarkan hukum pangan, pangan di bedakan menjadi 2 jenis pangan yaitu pangan segar dan Pangan olahan. Pengertian pangan segar berdasarkan pasal 1 ayat 18 Undang-undang 18 tahun 2012 Tentang Pangan, Pangan Segar adalah Pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan Pangan. Sedangakan pengertian pamgan olahan adalah berdasarkan pasal 1 ayat 19 Undang-undang 18 tahun 2012 Tentang Pangan, Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.[6]

Segala jenis pangan, baik pangan segar ataupun pangan olahan merupakan komoditi usaha para peleku UMKM. Namun dalam pembahasan ini penulis focus pada pangan olahan. Pangan olahan terdapat dua jenis pangan olahan;

1) Pangan olahan tertentu yang diproduksi oleh industry rumah tangga

2) Pangan olahan makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan bahan tambahan.



2.3 Pangan olahan dari Industri Rumah Tangga

Pangan olahan dari Industri Rumah Tangga diatur dalam Pasal 91 UU Pangan Dan Peraturan Kepala Badan Obat Makanan dan Minuman Nomor 22 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga. Pengertian Pangan Olahan Industri Rumah Tangga adalah Pangan Produksi IRTP, pangan olahan hasil produksi IRTP yang diedarkan dalam kemasan eceran dan berlabel[7]. Terkait jenis-jenis Pangan olahan yang dapat mengajukan permohonan ijin terbatas pada yang terakumudasi dalam PERATURAN Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industi Rumah Tangga.



2.4 Pangan olahan makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan bahan tambahan.

Pangan olahan makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan bahan tambahan . Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam Pangan yang mempengaruhi sifat atau bentuk Pangan, atau melalui proses sebagai berikut:

Sinitasi Pangan adalah upaya untuk menciptakan dan mcmpertahankan kondisi Pangan yang sehat dan higienis yang bebas dari bahaya cemaran biologis, kimia, dan benda Iain.

Iridasi Pangan adalah metode penanganan Pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan, membebaskan Pangan dari jasad renik patogen, serta mencegah pertumbuhan tunas

Rekayasa Genetik Pangan adalah suatu proses yang meiibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jcnis hayati kc jcnis hayati lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul. Pangan Produk Rekayasa Gcnetik adalah Pangan yang diproduksi atau yang menggunakan bahan baku, Bahan Tambahan Pangan, danf atau bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetic.

Kemudian yang dimaksud kedaulatan Pangan menurut Pasal 1 ayat ayat 2 UU Pangan adalah Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Sedangakan menurut Kedaulatan pangan dapat diposisikan sebagai strategi pokok untuk mencapai tujuan pembangunan pangan nasional, yakni ketahanan pangan. Kedaulatan pangan tidak menggantikan, namun menjadi pelengkap atau pendukung bahkan menjadi basis untuk tercapainya ketahanan pangan yang sejati. Dengan mengimplementasikan spirit kedaulatan pangan, maka ketahanan pangan di Indonesia akan lebih mampu dicapai secara kokoh dan berkeadilan.[8]

Perdagangan Pangan menurut hukum adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan/atau pembelian Pangan termasuk penawaran untuk menjual Pangan dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan Pangan dengan memperoleh imbalan. Kemudian Peredaran Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran Pangan kepada masyarakat, baik diperdagangkan maupun tidak.

Bertolak dari teori hukum dan difinisi tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa hukum Pangan Indonesia adalah segala peraturan yang mengatur tentang Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan, masyarakat dapat berperan serta melalui pelaksanaan produksi, distribusi, perdagangan, konsumsi Pangan, penyelenggaraan Cadangan Pangan Masyarakat, pencegahan dan penanggulangan rawan Pangan dan Gizi, penyampaian informasi dan pengetahuan Pangan dan Gizi, pengawasan kelancaran penyelenggaraan Ketersediaan Pangan, keterjangkauan Pangan, Penganekaragaman Pangan, Keamanan Pangan, dan/atau peningkatan Kemandirian Pangan rumah tangga bagi seluruh rakyat Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.



B. Sistem Hukum Pangan di Indonesia

Seperti yang telah dibahas dan teruarai diatas bahwa bahwa hukum Pangan Indonesia adalah segala peraturan yang mengatur tentang Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan, masyarakat dapat berperan serta melalui pelaksanaan produksi, distribusi, perdagangan, konsumsi Pangan, penyelenggaraan Cadangan Pangan Masyarakat, pencegahan dan penanggulangan rawan Pangan dan Gizi, penyampaian informasi dan pengetahuan Pangan dan Gizi, pengawasan kelancaran penyelenggaraan Ketersediaan Pangan, keterjangkauan Pangan, Penganekaragaman Pangan, Keamanan Pangan, dan/atau peningkatan Kemandirian Pangan rumah tangga bagi seluruh rakyat Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian untuk menemukan difinisi system hukum pangan maka, dalam pendekatanya melalui pendapat ahli mengenai system hukum di Indonesia dan difinisi hukum Pangan Indonesia.

Makna “sistem” dalam Sistem Peradilan Pidana tersebut. Makna sistem, menurut Satjipto Rahardjo, adalah sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu ini menunjukan kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian. Beliau juga memaknai sistem sebagai suatu rencana, metode atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu[9]

Menurut Sri Soemantri, dalam kamus umum Bahasa Indonesia, sistem mempunyai tiga macam arti. pengertian sistem yang paling sesuai dengan topik pembicaraan ini adalah arti sistem yang pertama. Adapun arti sistem yang pertama itu ialah sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud : misalnya sistem urat syaraf dalam tubuh; sistem pemerintahan dan lain-lain. [10]

Pengertian Sistem Hukum menurut pendapat Sudikno Mertukusumo adalah Suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut[11].



Elias M Awad dalam Otje Salman menyatakan bahwa system bersifat terbuka atau pada umumnya bersifat terbuka, dikatakan bersifat terbuka jika system itu dapat melakukan interksi dengan lingkungannya, maka dikatakan system itu tertutup karena tidak dapat menerima pengaruh apapun.

1) System terdiri atas sub system, sub-sub system, sampai pada yang paling kecil

2) Semua saling dependesi dan interdependensi satu sama lain , dan saling memerlukan.

3) System mampun mengatur diri sendiri (self regulation)

4) Memiliki tujuan dan sasaran. [12]

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa system hukum pangan adalah suatu kesatuan hukum pangan yang terdiri dari sub-sistem yang saling kait mengait dan tidak dapat tepisahkan untuk mewujutkan kedaulatan pangan di Indonesia, dan mempunyatujuan utama adalam mewujutkan keadilan.

C. Hukum Pangan Berlandaskan Keadilan

Tujuan untama hukum adalah kedilan, setelah itu adalah kemenfaatan yang terakhir tujuan hukum adalah kepastian. Pangkal tolak di diundangkan hukum pangan adalah untuk kedaulatan Pangan dan ketahanan Pangan di Indonesia

Merujuk makna keadilam dalam perspektif Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, menurutnya, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggangu rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah.

Merujuk pada pernyataan John Rawls tentang keadilan, terutama peryantan diatas, hal itu terjadi pada hukum Pangan di Indonesia. Namun bangsa Indonesia mempunyai falasafah keadilan tersendiri yaitu falsafah keadilan Pancasila. Keadilan yang tidak mendiskriminasikan rakyat lemah atau kecil.

Seharusnya keadilan pangan implementasi dari keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hukum apabila tidak adil, tidak adil apabila keadilan itu tidak berdasarkan Pancasila. Nilai keadilan yang bersumber dari Pancasila adalah kemanusiasan yang adil dan beradab yaitu memanusiakan manusia sebagai mahkluk sosial dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yaitu memberikan kesejahteraan yang sama bagi seluruh rakyat Indonesia dalam bentuk keadilan dan mencerminkan sila-sila yang lain. kesejahteraan yang sama dalam arti pemenuhan, kesempatan dan kesamaan dalam mendapatkan kebutuhan primer.



D. Asas-asas dalam Hukum Pangan

Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa: Asas hukum itu merupakan sebagian dari hidup dan kejiwaan kita. Dalam setiap asas hukum manusia melihat suatu cita-cita yang hendak diraihnya… suatu cita-cita atau harapan, suatu ideal. Asas hukum itu memberi dimensi etis kepada hukum. Oleh karena itu pula asas hukum itu pada umumnya merupakan suatu persangkaan (presumptio), yang tidak mengambarkan suatu kenyataan, tetapi suatu ideal atau harapan.[13]

Asas-asas hukum diperjuangkan bukan pada tataran penilaian rasio manusia, melainkan pada tataran kesusilaan. Asas-asas hukum tidaklah sekadar bersifat umum, melainkan juga bersifat terberi dan niscaya. Karena apabila tidak demikian. Maka karakternya sebagai asas menjadi hilang.[14] Demikian asas hukum adalah jiwa, harapan dari hukum yang memberi dimensi etis dan pada umumnya merupakan persangkaan dikatakan persangkaan karena memang tataran berfikir asas hukum terlepas dari fakta yang terjadi sehingga persangkaan di sini adalah lebih tepat jika dikatakan pengharusan.

Dalam kajian ini, titik persoalan Hukum Pangan akan diuji mengunakan pendekata asas asas hukum yang tertuang dalam Pasal 2 UU Pangan diantaranya adalah:

Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa Penyelenggaraan Pangan harus memberikan manfaat bagi kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat, baik lahir maupun batin dan manfaat tersebut dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat secara adil dan merata dengan tetap bersandarkan pada daya dan potensi yang berkembang di dalam negeri.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “asas pemerataan” adalah bahwa Penyelenggaraan Pangan harus dilakukan secara menyeluruh dan mampu menjamin keterjangkauan Pangan sampai pada tingkat perseorangan secara merata.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “asas berkelanjutan” adalah bahwa Penyelenggaraan Pangan harus dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk masa kini dan masa depan.

Huruf h

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa Penyelenggaraan Pangan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara.



E. Probematika Hukum Pangan di Indonesia

Menurut Bagir Manan ”hukum positif merupakan kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku, dan mengikat secara umum atau khusus, ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan di Indonesia”. Deskripsi hukum positif yang demikian memberikan pengertian, bahwa hukum positif terdiri atas hukum tertulis, dalam arti hukum yang sengaja diadakan oleh lembaga atau organ yang memiliki otoritas untuk membentuk hukum, dan hukum yang terbentuk dalam proses kehidupan masyarakat tanpa melalui penetapan oleh lembaga atau organ yang memiliki otoritas membentuk hukum.

Bahwa hukum di Indonesia menganut Civi Law system yaitu bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem hukum Civil Law berupa peraturan Perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi. Negara-negara penganut civil law menempatkan konstitusi pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan Perundang-undangan.

Menurut Yovita Arie Magesti terdapat beberapa problematika penerapan hukum normative yaitu[15]:

a. Kekesongan Norma Hukum

b. Norma samar atau Norma Abu-abu (grey norm/vague norm)

c. Konfik Norma

d. Norma Usang

Pada hukum Pangan terdapat norma kosong yang kemudian, atas kekosongan norma tersebut menimbulkan anacaman sanksi pidana bagi seseorang yang memproduksi, menjual atau mempruduksi Pangan. Ancaman saksi pidana UU Pangan tersebut pada:

Pasal 142 UU Pangan

“Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja tidak memiliki izin edar terhadap setiap Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)”.

Pasal 91 ayat UU Pangan

1) Dalam hal pengawasan keamanan, mutu, dan Gizi, setiap Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, Pelaku Usaha Pangan wajib memiliki izin edar.

2) Kewajiban memiliki izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap Pangan Olahan tertentu yang diproduksi oleh industri rumah tangga.

3) Ketentuan mengenai kewajiban memiliki izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian norma UU Pangan tersebut merujuk pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 Tentang Ketahan Pangan (kemudian disebut PP Ketahanan Pangan) dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 12 Tahun2016 Tentang Pendaftaran Pangan Olahan.

Didalam PP Ketahanan Pangan mengatur tentang aturan sinitasi Pangan, Pengaturan Bahan Tambahan Pangan Pengaturan Pangan Produk Rekayasa Genetik, Iradiasi Pangan, Standar Kemasan Pangan, Pemberian Jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan, Pendaftaran Sarana Produksi, Pemberian lzin Edar Pangan Olahan, Pemberian Nomor Registrasi untuk Pangan Segar Asal Hewan dan Pemberian Nomor Pendaftaran untuk Pangan scgar Asal Tumbuhan., Pemberian Sertifikat untuk Pangan Segar Asal Ikan, Penguj ian Laboratorium, Jaminan Produk Halal Bagi yang Dipersyaratkan, SANKSI ADMINISTRATIF.

Dalam kajian pemasalah ini penulis tertarik membandingkan norma sanksi adminstrati dengan sanksi Pidana pada UU Pangan. Yaitu;

Pasal 68 PP Ketahanan Pangan

1) Pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 65, dan Pasal 67 besaran denda ditentukan berdasarkan kriteria pelanggaran dan skala usaha.

2) Kriteria pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pelanggaran ringan;

b. pelanggaran sedang; dan

c. pcianggaran berat.

3) Skala usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. skala usaha besar;

b. skala usaha menengah;

c. skala usaha kecil; dan

d. skala usaha mikro.

Membahas sanksi administrative terkait pasal 86 ayat 3 tentu harus merujuk pada Undang-undan Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Usaha mikro Kecil dan Menegah.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang MKM memiliki kriteria sebagai berikut:

a. Usaha Mikro, yaitu usaha produktif milik`orang perorangan atau badan usaha milik perorangan yang memenuhi kriteria yakni:

1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha,

2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)

b. Usaha Kecil, yaitu usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria yakni:

1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

c. Usaha Menengah, yaitu usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar yang memenuhi kriteria:

1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta`rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

Berdasarkan uraian ketentuan Peraturan Perundang-undanga tersebut terjadi diskriminasi dan kriminalisasi terhadap seseorang yang melakukan Usaha yang tidak masuk kreteria sebagai mana dimaksud dalam Pasal 86 ayat 3 PP Ketahanan Pangan. Diskriminasi dalam arti seseorang yang tidak memiliki modal minimal dalam kreteria usaha mikro, tidak mendapat bantuan UMKM. Pelaku usaha yang tidak mempunyai modal besar outo matic tidak dapat mengurus ijin edar pangan dalam kategori sinitasi pangan dan lain-lain karena biaya untuk mendapatkan setifikat Standar Kemasan Pangan, Pemberian Jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan, Pendaftaran Sarana Produksi, Pemberian lzin Edar Pangan Olahan, sangat mahal dan tidak terjangkau pada rakyat miskin. Rakyat miskin, contoh; pelaku usah sosis, cireng, pentol bakso bersekala produksi 5 sampai 10 kg perhari terancam pidana karena tidak mampu mengurus ijin. Ijin IRT dari BPOM tidak mengakumudir Pangan jenis tersebut.

F. Urgensi Perlindangan Hukum bagi Pelaku Usaha Miskin

Bangsa Indonesai adalah Negara Hukum, Negara Hukum dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Pada konsep Negara Hukum yang diidealkan seharusnya hukum sebagai panglima dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan politik maupun ekonomi. Pada fakta kehidupan bermasyarakat tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh suatu negara, cita-cita itu adalah mensejahterakan kehidupan bangsa dan meciptakan keadilan social bagi seluruh rakyatnya. Pada kenyataannya yang kuat menindas yang lemah, yang besar memlibas yang kecil dan yang kaya sewenang-wenang terhadap orang miskin. Fenomena itu sering terjadi dilingkungan kita, bahkan mungkin saja telah terjadi pada diri kita. Hal itu terjadi hampir disegala aspek dan pada segala bidang, bidang ekonomi, social dan hukum. demikian juga terjadi terhadap sector usaha kecil, usaha kecil sering mendapat perlakuan diskriminasi oleh pengusaha yang lebih besar (Sektor Usaha Makro), dan dipandang sebelah mata oleh pejabat pemerintah dilikungannya. Bahkan yang lebih celakanya sector usaha kecil mendapat kriminalisaisi dari penguasa, Kriminalisasi terhadap usahanya. Kemudia pertanyaaannya adalah bagaimana peran pemerintah dalam melindungi masyarakatnya, bukankah kewajiban negara yang utama adalah melindungi warga negaranya.

Bahwa UMKM di Indonesia diatur dalam Undang-undangPerundang-undangan terkait yang menjadi dasar hukum Undang-undang 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah. Pelaku usaha UMKM yang bergerak dalam bidang makanan diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Pangan dan Peruran BPOM. BPOM adalah singkatan dari lembaga Badan Pengawas Obat dan Makanan. Kemudaian perundang undangan UMKM di perbarui melalui Undang-undang 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.[16] Sedangkan menurut C.S.T. Kansil perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.[17] Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah suatu tindakan untuk melindungi atau memberikan pertolongan kepada subjek hukum, dengan menggunakan perangkat-perangkat hukum.[18]

Perlindungan hukum merupakan suatu konsep yang universal dari negara hukum. Pada dasarnya, perlindungan hukum terdiri atas dua bentuk, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif yakni: Perlindungan Hukum Preventif yang pada dasarnya preventif diartikan sebagai pencegahan. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan. Bentuk perlindungan hukum preventif terdapat dalam peraturan perundang-undangan guna mencegah terjadinya suatu pelanggaran serta untuk memberikan batasan-batasan dalam melakukan kewajiban. Perlindungan Hukum Represif berfungsi untuk menyelesaikan sengketa yang telah muncul akibat adanya pelanggaran. Perlindungan ini merupakan perlindungan akhir yang berupa pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang telah dilakukan.

a. Prisip Perlindungan Hukum

Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.[19] Aspek dominan dalam konsep barat tentang hak asasi manusia adalah “menekankan eksistensi hak dan kebebasan yang melekat pada kodrat manusia dan statusnya sebagai individu, hak tersebut berada di atas negara dan di atas semua organisasi politik dan bersifat mutlak sehingga tidak dapat diganggu gugat”. Karena konsep ini, maka sering kali dilontarkan kritik bahwa “konsep Barat tentang hak-hak asasi manusia adalah konsep yang individualistik. Kemudian dengan masuknya hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi serta hak kultural, terdapat kecenderungan mulai melunturnya sifat indivudualistik dari konsep Barat”.[20] Dalam merumuskan prinsi-prinsip perlindungan hukum di Indonesia, landasannya adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep Rechtstaat dan ”Rule of The Law”. Dengan menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka berfikir dengan landasan pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi menusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.

b. Bentuk bentuk Perlindungan Hukum

Menurut Philipus M. Hadjon,[21] terdabat 2 macam betuk sarana perlindungan Hukum ada dua macam, yaitu:

1) Sarana Perlindungan Hukum Preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah . Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.

2) Sarana Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasanpembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.

Berdarkan uraian tersebut maka disimpulkan urgensi perlindungan hukum bagi pelaku usaha Pangan olahan dikategorikan miskin, berhak mendapat perlindungan hukum secara Preventif, yang berbentuk pengawasan, pembinaan dan bimbingan. Pengawasan, pembinaan dan bimbingan tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu dan kuwalitas produk pangan olahan dan meningkatkan sumberdaya manusia bagi pelaku usaha miskin tersebut.

III. PENUTUP



1. Kesimpulan

Dari bahasan terurai diatas dapat disimpulkan beberapa hal diantaranya adalah:

a. Hukum Pangan Indonesia adalah segala peraturan yang mengatur tentang Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan, masyarakat dapat berperan serta melalui pelaksanaan produksi, distribusi, perdagangan, konsumsi Pangan, penyelenggaraan Cadangan Pangan Masyarakat, pencegahan dan penanggulangan rawan Pangan dan Gizi, penyampaian informasi dan pengetahuan Pangan dan Gizi, pengawasan kelancaran penyelenggaraan Ketersediaan Pangan, keterjangkauan Pangan, Penganekaragaman Pangan, Keamanan Pangan, dan/atau peningkatan Kemandirian Pangan rumah tangga bagi seluruh rakyat Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

b. Tujuan Hukum Pangan Adalah keadilan Pangan Nilai keadilan yang bersumber dari Pancasila adalah kemanusiasan yang adil dan beradab yaitu memanusiakan manusia sebagai mahkluk sosial dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yaitu memberikan kesejahteraan yang sama bagi seluruh rakyat Indonesia dalam bentuk keadilan dan mencerminkan sila-sila yang lain.

c. Hukum pangan yang berlaku terdapat diskriminasi dan kriminalisasi terhadap masyaratat strata tertentu. diskriminasi dan kriminalisasi melanggar Konstitusi dan Nilai-nilai Pancasila.

d. Pelaku usaha Pangan Olahan yang dikategorikan sebagai Pelaku usaha pangan miskin berhak mendapat perlindungan hukum secara Preventif, berbentuk Pengawasan, pembinaan dan bimbingan, bertujuan untuk meningkatkan mutu dan kuwalitas produk pangan olahan dan meningkatkan sumberdaya manusia bagi pelaku usaha miskin tersebut.



2. Rekomendasi

Memperbaiki hukum Pangan di Indonesia dengan cara memperbaiki kekosongan norma dan pertentangan antara norma dan asas pada UU Pangan sekaligus memperbaiki PP Pertahanan Pangan agar lebih ramah tehadap masyarakat miskin.

Membuat kesepakatan Bersama antara kepolisian dan BPOM untuk memberi perlindungan secara Preventif untuk memberikan pengawasan pembinaan dan bimbingan, bertujuan untuk meningkatkan mutu dan kuwalitas produk pangan olahan dan meningkatkan sumberdaya manusia bagi pelaku usaha miskin tersebut

IV. DAFTAR PUSTAKA



Buku

Anton F Susanto Otje Salman Teori Hukum, Mengingat, mengumpulkan dan Membuka Kembali(bandung: Refika Aditama,2013)

Apeldoorn,L.J. van Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32), Pradnya Paramita, Jakarta.

Arie Mangesti Yovita. “Ilmu Hukum Kontemporer menembus batas Kekekuan Hukum Normatif”, Setara Press, 2020

Hadjon Philipus M., 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,

Hadjon Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, penerbit Bina Ilmu 1989 Surabaya.



L.Tanya Bernad, Yoan H. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, “TEORI HUKUM Strategi Tertip Manusia Lintas Ruang dan Generasi” Genta Publising, Yogyakarta hal-40.

Kansil C.S.T., 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta

Mertokusumo Sudikno, Penemun Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007.

Raharjo Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991,

Rahardjo Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.54. 10 C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.



Septiana Nurbani Erlies dan,Salim PENERAPAN TEORI HUKUM PADA PENELITIAN TESIS DAN DISERTASI, Rajawali Pers Cetakan Kelima tahun 2017,

Soemantri Sri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia (Bandung: Alumni, 1992)



Bacaan

https://www.unja.ac.id/2020/07/16/tanggapan-terhadap-sistem-hukum-di-indonesia/Syahyuti, Sunarsih, Sri Wahyuni, Wahyuning K. Sejati, dan Miftahul Azis Jurnal ilmiah. KEDAULATAN PANGAN SEBAGAI BASIS UNTUK MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

hidayat Fitri,perlindungan hukum unsur esensial dalam suatu Negara hukum, http://fitrihidayatub.blogspot.com/2013/07/perlindungan-hukum-unsur-esensial-dalam.html, diakses tanggal 18 september 2018





Undang-Undang.

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.

Peraturan Kepala Badan Obat Makanan dan Minuman Nomor 22 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga

Peraturan Pemerintah No 86 Tahun 2019 Tentang Keamanan Pangan.

Undang-undang 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Karya.




[1] Konsideren Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan


[2] Salim dan Erlies Septiana Nurbani, PENERAPAN TEORI HUKUM PADA PENELITIAN TESIS DAN DISERTASI, Rajawali Pers Cetakan Kelima tahun 2017, hal-12.


[3] Bernad L.Tanya, Yoan H. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, “TEORI HUKUM Strategi Tertip Manusia Lintas Ruang dan Generasi” Genta Publising, Yogyakarta hal-40.


[4] Ibit Hal 77


[5] PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN SERTIFIKAT PRODUKSI PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA.


[6] Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.


[7] Pasal 1 ayat 4 Peraturan Kepala Badan Obat Makanan dan Minuman Nomor 22 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga


[8] Jurnal ilmiah Syahyuti, Sunarsih, Sri Wahyuni, Wahyuning K. Sejati, dan Miftahul Azis .KEDAULATAN PANGAN SEBAGAI BASIS UNTUK MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL


[9] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 48


[10] Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia (Bandung: Alumni, 1992) hal. 32.


[11] Dikutip dari https://www.unja.ac.id/2020/07/16/tanggapan-terhadap-sistem-hukum-di-indonesia/


[12] Otje Salman Anton F Susanto Teori Hukum, Mengingat, mengumpulkan dan Membuka Kembali(bandung: Refika Aditama,2013)


[13] Sudikno Mertokusumo, Penemun Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007, Hlm. 8.


[14] L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32), Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm.81


[15] Yovita Arie Mangesti. “Ilmu Hukum Kontemporer menembus batas Kekekuan Hukum Normatif”, Setara Press, 2020, hal-70 sd hal-82.


[16] Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.54. 10 C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h.102.


[17] C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h.102


[18] Philipus M. Hadjon, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, h.10.


[19] Fitri hidayat,perlindungan hukum unsur esensial dalam suatu Negara hukum, http://fitrihidayatub.blogspot.com/2013/07/perlindungan-hukum-unsur-esensial-dalam.html, diakses tanggal 18 september 2018


[20] Ibit


[21] Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, penerbit Bina Ilmu 1989 Surabaya. Hal 20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEGIATAN SOSIALISASI VISI MISI, PERCEPATAN JABATAN AKADEMIK DOSEN DAN PUMUTAHIRAN KURIKULUM UNIVERSITAS BHAYANGKARA SURABAYA

UNSUR PIDANA (DELIK) DALAM PERJAJIAN KREDIT DI BANK